Keterangan Gambar: Ketua TPH-DD Walhi Sumut sedang menyaksikan bukti tambahan dari PH tergugat kepada Hakim PN Jakarta Selatan |
TRILO, Jakarta,- Tim Pembela Hukum Dewan Daerah (TPH-DD) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Sumatera Utara (WALHI Sumut) melalui Kantor Hukum Law Office R. Aritonang, S.H menyampaikan bahwa proses peradilan gugatan perdata dengan tergugat Dewan Nasional (DN) WALHI dan Eksekutif Nasional (EN) WALHI telah masuk agenda mendengar keterangan saksi yang dihadirkan oleh penggugat.
“Ya, pada tanggal 29 Agustus 2023 persidangan dengan nomor perkara 97/Pdt.G/2023/PN/JKT.SEL antara DD WALHI Sumut dengan DN & EN WALHI telah berlangsung. Adapun agenda persidangan yakni mendengar keterangan 3 orang saksi yang kami hadirkan,” ujar Harisan Aritonang, Ketua TPH-DD Walhi Sumut.
“Dari fakta persidangan yang disaksikan oleh Hakim dan Pendamping Hukum tergugat, secara jelas dan meyakinkan bahwa DN dan EN WALHI tidak memahami Statutanya sendiri dalam memberhentikan DD WALHI Sumut. Selain itu juga DN dan EN WALHI telah melanggar statuta WALHI dalam memberhentikan DD WALHI Sumut,” tegas Haris, kemarin.
Adapun pemberhentian DD WALHI Sumut tidak sesuai dengan bentuk dan mekanisme pemberian sanksi yang tertuang dalam statuta WALHI. DN dan EN dengan tidak menjalankan prosedur mekanisme pemberian sanksi sesuai dengan pasal 38 ayat (2) statuta WALHI yang berbunyi; “Sanksi dijatuhkan setelah terlebih dahulu dilakukan verifikasi dan pemberian kesempatan membela diri kepada yang bersangkutan”.
“Dalam persidangan kemarin, kita menghadirkan 2 orang saksi fakta dan 1 orang saksi ahli yang menyampaikan bahwa sesuai dengan Statuta WALHI, mereka yang dilaporkan, dianggap dan/atau diperiksa atas dugaan pelanggaran terhadap Statuta, wajib terlebih dahulu diverifikasi dan diberikan hak untuk membela diri sebagaimana dalam pasal 38 Statuta WALHI.”
“Namun dalam peristiwa pemberhentian DD WALHI Sumut, proses ini diabaikan oleh DN dan EN WALHI, yang kemudian mengesampingkan secara sepihak hak-hak penggugat sehingga mengalami kerugian secara keperdataan,” lanjut Haris.
Hal lain yang terungkap dalam fakta persidangan adalah DD WALHI Sumut yang diberhentikan tidak mendapatkan tahapan sanksi yang seyogyanya dijalankan menurut Statuta. “Tahapan sanksi yang semestinya diberikan adalah peringatan tertulis, lalu kemudian pemberhentian sementara, dan tahapan sanksi terakhir barulah pemberhentian tetap, sesuai pasal 38 ayat (1) Statuta WALHI yang berbunyi; “Setiap pelanggaran terhadap Statuta WALHI dapat dijatuhkan sanksi berupa: (a) peringatan tertulis; (b) pemberhentian sementara; dan (c) pemberhentian tetap.”
Jelas Haris. Ini yang kemudian dinilai oleh penggugat keputusan pemberhentian kepada DD WALHI Sumut selain tidak memiliki alasan yang jelas juga tidak sesuai mekanisme dan tahapan yang semestinya dalam Statuta WALHI sebagai aturan atau “undang-undang internal”nya WALHI.
Berdasarkan keterangan saksi fakta dan saksi ahli, mekanisme pemberian sanksi tidak boleh melangkahi tahapan yang telah dituangkan dalam Statuta WALHI. “Karena secara historis dan filosofis tahapan yang diatur dalam Statuta WALHI tersebut bersandar pada asas hukum yakni presumption of innocence dan prinsip-prinsip dasar HAM dalam hal ini untuk memverifikasi peristiwa etik bukan untuk memverifikasi peristiwa pelanggaran hukum atau kriminal,” tambah Haris.
Haris merasa aneh, ketika pemberhentian DD WALHI Sumut dilakukan dalam forum Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) di Jambi, sebagai forum konsultasi nasional seluruh WALHI daerah-daerah, sedangkan proses terpilih dan pengangkatan DD WALHI dilakukan dalam forum Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) WALHI Sumut ke IX di Medan yang dihadiri oleh hanya anggota (partisipan) WALHI Sumut saja.
“Tentu kedua forum ini berbeda fungsi dan kewenangannya yang sudah diatur dalam Statuta WALHI. Akan tetapi dimanfaatkan sepihak oleh DN & EN WALHI memaksa kehendaknya untuk memberhentikan DD WALHI Sumut.” Papar Haris lagi.
“Saksi yang kita hadirkan dalam persidangan, menjelaskan kedudukan PDLH dengan KNLH, merupakan forum berbeda. Dimana PDLH adalah forum tertinggi yang dilaksanakan ditingkat daerah yang kewenangannya mengangkat serta memberhentikan Eksekutif Daerah (ED) dan Dewan Daerah (DD) WALHI.
Sedangkan KNLH adalah forum kedua tertinggi pada tingkat nasional yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan daerah, yakni ED dan DD untuk mengevaluasi program EN dan DN WALHI secara nasional dan menyampaikan perkembangan WALHI daerah masing-masing. Itu merupakan pembagian wewenang forum yang tertuang dalam Statuta WALHI sebagaimana dijelaskan saksi ahli yang kita hadirkan,” ujar Haris.
Perkara ini, sebagaimana telah diberitakan media sebelumnya, bahwa TPH-DD WALHI Sumut telah mendaftarkan gugatan perkara nomor 97/Pdt.G/2023/PN/JKT.SEL, pada tanggal 24 Januari 2023 lalu. Selama ini, proses peradilan telah berjalan sebanyak 16 kali persidangan.
Di mana agenda sebelumnya telah dilalui dengan agenda sebagaimana proses pengadilan perdata. Untuk sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada 5 September 2023, dengan agenda sidang, mendengar keterangan saksi yang dihadirkan oleh tergugat dan tambahan bukti dari penggugat.
“Dalam persidangan selanjutnya nanti, kita akan mendalami kesaksian yang dihadirkan oleh tergugat. Khususnya dalam pelaksanaan mekanisme pemberhentian terduga pelanggar statuta dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku di Indonesia.”
Karena peristiwa dasar dari pemberhentian DD WALHI Sumut adalah peristiwa dugaan tindak pidana, akan tetapi pelapor tidak menggunakan hak hukumnya. Malah DN dan EN melanggengkan pelanggaran mekanisme hukum dan pelanggaran Statuta WALHI demi memenuhi hasrat mereka memberhentikan klien kami dengan melanggar prinsip-prinsip HAM dan nilai-nilai WALHI itu sendiri, pungkas Haris.(Yusroh)